Senin, 14 November 2011

Ketika Pebalap Kembali Berguguran di Lintasan


Kadang, Tragedi Justru Dongkrak Popularitas
Padang Ekspres • Rabu, 26/10/2011 13:28 WIB • Azrul Ananda • 166 klik
Marco Simoncelli: Sepang akhiri karir sekaligus hidupnya, Minggu lalu (23/10)
Dua minggu, dua pebalap hebat tewas di lintasan. Juara IndyCar, Dan Wheldon dan bintang muda MotoGP, Marco Simoncelli. Karena jam tak bisa diputar balik, manfaatnya baru akan terasa di masa mendatang.

Dua berita menggemparkan mewarnai arena balap dalam dua pekan. Dan Wheldon, pebalap senior Inggris mantan juara IndyCar dan lomba Indy 500, tewas saat berlomba di sirkuit oval di Las Vegas.

Berita Wheldon mungkin tak terlalu menghebohkan di Asia, mengingat popularitas IndyCar tak terlalu besar di sini. Tapi, di Amerika dan Eropa, dampaknya sangat terasa.

Wheldon tewas setelah tak mampu menghindari ”tabrakan massal” yang pada akhirnya melibatkan 15 mobil. Mobilnya terlontar dari sisi dalam lintasan ke sisi luar, menghantam pagar pengaman yang memisahkan lintasan dengan tribun.

Walau mobil IndyCar punya tingkat keselamatan sangat tinggi (lebih ketat dari Formula 1 karena membalap di lintasan oval yang lebih cepat), Wheldon tetap apes. Bagian rollhoop (bagian atas mobil tepat di belakang kepala pembalap) hancur, membuat kepala Wheldon ikut menghantam pagar.

Tanpa menunggu lama, penggemar balap di Asia, khususnya Indonesia, dihebohkan oleh tewasnya Marco Simoncelli di Sirkuit Sepang, saat MotoGP Malaysia Minggu lalu (23/10).

Simoncelli terjatuh di putaran kedua lomba, tertindih motor sendiri (Honda Gresini) dan terseret menyeberangi lintasan dari kiri ke kanan. Colin Edwards (Tech 3 Yamaha) dan Valentino Rossi (Ducati) tak kuasa menghindar, menghantam badan dan kepala ”SuperSic” sampai helmnya terpental.

Bisakah kedua kecelakaan ini diantisipasi? Antara ya dan tidak. IndyCar dan MotoGP merupakan dua seri sangat bergengsi, sangat profesional. Segalanya sudah disiapkan untuk meminimalisasi risiko pebalap.

Di IndyCar, bobot mobil dibuat berat, supaya bisa menahan benturan lebih baik untuk melindungi pebalap.
Bahkan, untuk 2012 dan selanjutnya, IndyCar sudah menyiapkan mobil baru buatan Dallara yang akan meningkatkan tingkat keselamatan pebalap. Bagian utama mobil itu (kokpit dan sekitar) disebut sebagai “safety cell”. Bagian ban yang terbuka juga sedikit ditutupi sayap dan bodi, mengurangi kemungkinan ban terbuka bersentuhan dengan ban terbuka dari mobil lain.

Mobil itu sudah menjalani serangkaian uji coba, dan wajib dipakai mulai musim 2012. Ironisnya, selama ini yang menguji mobil itu adalah Dan Wheldon sendiri. Bayangkan seandainya di Las Vegas IndyCar sudah pakai sasis baru. Mungkin Wheldon sekarang masih bisa mengomentari kecelakaan massal tersebut. Sekarang, Wheldon tak bisa lagi menikmati mobil hasil kerja kerasnya tersebut.

Pihak IndyCar kini sedang bekerja keras mengevaluasi kecelakaan, untuk mempelajari lagi bagaimana cara terus meningkatkan safety. “Ini kecelakaan tragis, IndyCar harus memahami segala hal yang terjadi,” tandas CEO IndyCar Randy Bernard.

MotoGP Sangat Aman

Balap motor sangat beda dengan mobil. Kalau balap mobil, pebalap tidak boleh terlontar keluar, dan harus dilindungi oleh kokpit yang luar biasa. Kalau balap motor, pebalap harus sangat aman ketika terjatuh atau terlontar dari motor.

Pada 2003, di Suzuka, Jepang, Daijiro Katoh (atau Kato, sama saja tulisan Jepangnya) melebar keluar lintasan dan menabrak pagar pengaman. Sejak 2003, masalah itu tidak ada lagi. Semua sirkuit sekarang sudah punya run-off area (kawasan untuk melebar) yang luas dan jauh dari pagar.

Yang tidak bisa diperbuat lebih banyak lagi, adalah ketika pebalap terjatuh dan dihantam motor lain. Dua korban terakhir grand prix motor kejadiannya mirip. Tomizawa (Moto2 tahun lalu) dan Simoncelli sama-sama tewas setelah ditabrak pembalap lain dengan kecepatan sangat tinggi.

Kalau sudah begini, ya memang sudah nasib. Giacomo Agostini, mantan juara dunia grand prix motor 15 kali (di berbagai kelas) menegaskan itu. “Percuma bicara soal safety dan perlindungan pebalap karena untuk (kasus Simoncelli) sudah banyak yang diupayakan,” ujarnya.

”Di zaman saya dulu, kami membalap pakai helm kecil, baju tipis, dan sirkuit yang dikelilingi tembok, pohon, dan pagar. Waktu itu situasinya hopeless. Ada bayak sekali kecelakaan dan banyak rekan saya yang meninggal,” tuturnya.

Entah apa yang akan dilakukan MotoGP untuk memperbaiki lagi tingkat keselamatan pebalap. Apalagi, tragedi ini terjadi di saat “krisis”. MotoGP sedang minim peserta dan kesulitan mempertahankan atau menambah jumlah peserta untuk 2012.
Popularitas Melonjak?

Terakhir kali ada tahun supersedih seperti ini di arena balap adalah 1994. Ketika juara dunia tiga kali Formula 1, Ayrton Senna, tewas di Grand Prix San Marino, di Sirkuit Imola.

Menariknya, film berjudul Senna, dokumenter tentang sang pebalap yang menang festival film bergengsi Sundance, juga beredar di seluruh dunia tahun 2011 ini.

Saya baru belakangan ini bisa menikmati film tersebut. Dan film itu memang brilian. Anda tidak harus suka balap untuk menikmatinya, untuk menangis di penghujung ceritanya. Itu kisah manusia yang luar biasa, yang bisa menginspirasi sekaligus membuat kita lebih apresiatif terhadap kemanusiaan.

Saya tidak mau cerita seperti apa, silakan tonton sendiri (DVD bajakannya ada kok, tapi bukan berarti saya mendukung pembajakan lho!).
Tewasnya Senna dulu, membuat F1 bekerja keras meningkatkan safety. Syukur, sampai sekarang belum ada lagi pebalap yang tewas di arena F1 (meski ada pengawas lintasan yang tewas kena serpihan ban beberapa tahun lalu).
Dan dampak lain: Tewasnya Senna memberi F1 ekspos media yang belum pernah didapat sebelumnya. Membuat popularitas F1 menjulang tinggi, mendorong hingga puncaknya ketika zaman kesuksesan Michael Schumacher dan Mika Hakkinen di penghujung 1990-an dan awal 2000-an.

Tewasnya Wheldon dan Simoncelli, mungkin, bisa memberi dampak serupa kepada masing-masing seri. MotoGP, sebelum tewasnya Simoncelli, tergolong sedang minim kehebohan. Kejuaraan dunia berlangsung relatif boring dengan dominasi Casey Stoner. Plus seperti sudah disebut: Krisis peserta.

IndyCar? Pada 1990-an, seri ini sempat mengancam popularitas F1 secara global. Belakangan, seri ini juga berkutat meraih popularitas. Dengan berita tewasnya Wheldon, seorang bintang, IndyCar pun kembali mendapat sorotan global.

Mungkin apa yang saya tulis setelah ini bisa dianggap kurang sensitif. Jadi maaf kalau Anda tersinggung. Tapi, dengan tewas di arena yang mereka cintai saat berlomba, kedua pebalap itu telah memberikan kontribusi luar biasa untuk mendongkrak seri balap masing-masing.

Kutipan terbaik pascatewasnya Simoncelli, muncul dari sang ibu sendiri, Rosella, saat dikunjungi puluhan orang di kediaman keluarga di Coriano, Italia.

Melihat banyak penggemar Simoncelli menangis, Rosella justru sangat tegar.”Non piangete, non piangete per lui. Marco non avrebbe mai voluto vedervi piangere.” (Jangan menangis. Jangan menangis untuk dia. Marco tak akan pernah ingin melihat kalian menangis).

Sebagai penggemar balap, kita semua tentu tak ingin melihat ada lagi korban di lintasan. Tapi kadang sebuah seri balap butuh sebuah tragedi untuk mendongkrak lagi popularitas dan memacu pertumbuhan!

Sumber:Hari pagi
            Padang Ekspres

Selasa, 18 Oktober 2011


NARRATIVE:::::
The Myth of Malin Kundang
A long time ago, in a small village near the beach in West Sumatra, a woman and her son lived. They were Malin Kundang and her mother. Her mother was a single parent because Malin Kundang's father had passed away when he was a baby. Malin Kundang had to live hard with his mother.
Malin Kundang was a healthy, dilligent, and strong boy. He usually went to sea to catch fish. After getting fish he would bring it to his mother, or sold the caught fish in the town.
One day, when Malin Kundang was sailing, he saw a merchant's ship which was being raided by a small band of pirates. He helped the merchant. With his brave and power, Malin Kundang defeated the pirates. The merchant was so happy and thanked to him. In return the merchant asked Malin Kundang to sail with him. To get a better life, Malin Kundang agreed. He left his mother alone.
Many years later, Malin Kundang became wealthy. He had a huge ship and was helped by many ship crews loading trading goods. Perfectly he had a beautiful wife too. When he was sailing his trading journey, his ship landed on a beach near a small village. The villagers recognized him. The news ran fast in the town; “Malin Kundang has become rich and now he is here”.
An old woman ran to the beach to meet the new rich merchant. She was Malin Kundang’s mother. She wanted to hug him, released her sadness of being lonely after so long time. Unfortunately, when the mother came, Malin Kundang who was in front of his well dressed wife and his ship crews denied meeting that old lonely woman. For three times her mother begged Malin Kundang and for three times he yelled at her. At last Malin Kundang said to her "Enough, old woman! I have never had a mother like you, a dirty and ugly woman!" After that he ordered his crews to set sail. He would leave the old mother again but in that time she was full of both sadness and angriness.
Finally, enraged, she cursed Malin Kundang that he would turn into a stone if he didn't apologize. Malin Kundang just laughed and really set sail.
In the quiet sea, suddenly a thunderstorm came. His huge ship was wrecked and it was too late for Malin Kundang to apologize. He was thrown by the wave out of his ship. He fell on a small island. It was really too late for him to avoid his curse. Suddenly, he turned into a stone.
(Re-written from www.st.rim.or.jp)


Narrative Analysis on Generic Structure
Many believe that a story can teach a society certain moral value. Most stories are build in narrative. Because it is a narrative story, it must consists of complication. That complication, in fact, is the moral value which like to be taught.
Orientation; the first paragraph is set to be the story introduction. Reading the orientation, reader will know that the story is characterized with Malin Kundang and his mother. Wes Sumatra is set as the place.
Complication; this is the main element of narrative story. From the Malin Kundang myth, we know that there are more than one complication. Many stories are composed with multi complications. They are minor complication and major complication. When Malin Kundang and her mother did life hard, it can be the minor complication. this hard life in the first time was solved by his successful trading as new merchant. However this narrative sotry is more interesting when we see the major complication among the participants- Malin Kundang denied his mother after being successful merchant. In every story, complication must be ended; happy ending or sad one
Resolution; this is the end of the story, the sad ending one. Malin Kundang faces his curse of turning into a stone.